Sunday, November 24, 2013

Papandayan - Keindahan persembahan Ibu Pertiwi Indonesia-ku

Pemandangan di Gunung Papandayan


Kami duduk berkumpul dalam lingkaran kecil di tengah 4 tenda kami, beralasan jas hujan yang digelar menjadi pengganti tikar. Hangat dalam balutan jaket masing-masing dengan cemilan yang mulai mengisi kekosongan area tengah lingkaran kami. Saya memandang wajah-wajah yang masih menampakan keletihannya tetapi dengan sorot mata yang ceria dan bahagia menyisakan semangat berpetualang. Saya menyesap cairan kopi hitam panas yang sedikit manis, mengalir perlahan melalui gorong-gorong kerongkongan saya. Kopi hitam panas yang berkubang dalam gelas kecil saya, mengepulkan uap panasnya melayang ke atas dan berbaur dengan tirai kabut yang menyeruak masuk ke area perkemahan ini dari puncak singgasana sang tuan tanah 7 puncak pegunungan ini.

Canda dan random topic dalam obrolan petang masih mengisi waktu kami dalam suhu yang semakin dingin dan sang angin yang tak henti-hentinya bertiup seolah berputar-putar di sekeliling kami mencoba mencuri dengar apa yang tampak asyik kami bincangkan.

“Ada yang mau mie lagi?” tanya sang komandan, dan langsung dijawab berebut dengan satu kata “GUE!”
Well menu apa lagi yang terdengar lebih menggoda selain mie instant, untuk menemani raga fana ini berteman dengan udara dingin dan angin yang tak lelah mengibaskan sayap-sayapnya.

Sesiangan sebelumnya, kami berjalan dan mendaki gunung landai ini, serta membuka tenda di tanah lapang bernama Pondok Saladah, area datar yang dikelilingi oleh ilalang gunung dan semak-semak Edelweiss. Di sinilah kami berada, Gunung Papandayan.

Monday, October 28, 2013

Sofa Berpola Kotak



“Sayang, makan yuk.” ajakku.
“Yuk, kamu maunya makan apa?” dia mengiyakan dan balas bertanya.
“Apa yah? Chinese food okay juga, tapi pingin juga makan western-westernan, bingung nih, kamu ada ide ga?” jawabku tak menentu.
“Ini aja deh.” dia menyudahi jawaban pendeknya dengan melumat bibirku dalam dan lama.
…. “Gimana?” tanyanya terengah.
“Lagi!” pintaku memaksa sambil menarik jenjang lehernya kembali dan memainkan lidahku dalam mulutnya berdansa dengan lidahnya.
Sesaat bibir kami terlepas dan nafas hangatnya menderu di pipiku.
“Sayang, aku mau main course-nya.” desahku dan mulai melepas kancing-kancing bajunya.
Dia diam dalam deru nafasnya dan tanganya mulai bermain pada resleting celana jeans-ku.

Saturday, October 26, 2013

Nyemplung yuk di area Pulau Harapan - Kepulauan Seribu DIJ



Sunset - Harapan Island
Cuaca cerah, matahari bersinar ceria menghunjamkan berkas-berkas hangat pijarnya. Hujan angin yang konon melanda sehari sebelumnya tampak tinggallah cerita dan kenangan yang cepat berlalu. Riak-riak landai nan tenang menina-bobokan sebagian besar penumpang kapal yang seolah tertumpuk-tumpuk dari lambung kapal hingga ke atas atap kapal.

Pandangan saya menebar, menangkap begitu banyak kepala yang tergolek pasrah atas goncangan-goncangan kecil kapal dan tak kalah banyak pula kepala yang terangguk-angguk mencoba mencari tempat bersandar yang tak ada. Jendela-jendela mata hati yang tertutup, berkelana dalam dunia angan, seolah menjanjikan perjalanan selama 3 jam meninggalkan Teluk Jakarta dan menyusuri Laut Jawa menuju ke Pulau Harapan, menjadi lebih singkat.

“Mas, bisa pinjam koreknya?” tanya bapak yang duduk disebelah saya, meminjam korek untuk teman di sebelahnya.
“Oh silahkan.” jawab saya sembari menyodorkan pematik api saya.
Dan dari sana maka sebagian besar dari setengah perjalanan, saya isi dengan berbincang-bincang dengan sang bapak, yang ternyata adalah penduduk asli di Pulau Harapan. Lain kisah dari yang bapak tersebut ceritakan, inilah cerita saya di Pulau Harapan.

Sunday, October 13, 2013

Menjilat Ragam Kuliner di Sumatera Barat

 
“Selamat datang di Padang, Sumatera Barat.” sambut Bayu, si tour guide dadakan.
*adegan dan percakapan berjabat-tangan serta basa basi*
“Bla bla bla…. “ obrolan kami berempat.
“Okay sekarang mending itinerary-nya dibalik yah, hari ini kita ke Lembah Anai dulu.” tutur Bayu.
NO!” tolak saya mentah-mentah.
*hening dengan suasana awkward dan sedikit intense.
“Mas Harry, kita ke Lembah Anai dulu supaya menghindari jalanan macet di hari minggunya.” jelas Bayu.
“TIDAK!” tolak saya lagi.
*kembali hening sementara beberapa pasang mata saling menatap dengan enggan*
*Si Randie, diam-diam kentut*
“Kita sarapan dulu coyyyy, gue laper abissssss. Mana di pesawat kaga dikasih snack sama sekali.” lenguhan saya memecahkan kondisi hening.
*suasana menjadi ceria gegap gempita kembali, sujud syukur*

Note: adegan di atas LEBAY!

3 hari 2 malam di Sumatera Barat tentunya tidaklah kami lewatkan tanpa memuaskan dahaga akan sajian khas dari Tanah Minangkabau.

***

Bumi Sumatera Barat, Tanah Minangkabau

Lembah Harau


“Randie dimana?” tanya saya ke Octa.
“Nih gue telepon.” Jawab Octa
*percakapan telepon*
“Jadi dia sudah dimana?” tanya saya lagi ke Octa
“Tuh baru berangkat, katanya 15 menit sampai.” Jawab Octa
*menunggu Randie*

***

Mobil ini melaju cukup kencang menyusuri jalanan antar kota di Provinsi Sumatera Barat menuju ke Lembah Anai. Entah dimana tepatnya sekarang, yang pasti tak jauh dari ibukota provinsi, Kota Padang. Tepat pukul 7.55 WIB, kami bertiga (saya, Randie dan Octa) mendaratkan telapak kaki kami untuk pertama kalinya di Bandara Internasional Minangkabau.
Penjelajahan kali ini, kami akan ditemani oleh temannya teman yang akan menjadi tour guide selama penorehan jejak-jejak di Sumatera Barat.

Sementara Randie dan Octa bercakap asyik dengan sang tour guide (Bayu) mengenai lokasi-lokasi gunung di Sumatera Barat, saya menikmati slide-slide yang bergerak dengan cepat pada layar jendela mobil. Jalanan dua jalur dengan satu lajur saja pada masing-masing arah diapit oleh rumah penduduk dan petak-petah hijau bagian dari sisi paling luar hutan Sumatera. Masyarakat setempat yang tampak telah menjalankan aktifitas sehari-harinya dari tadi. Orang-orang yang sama tetapi berbeda, rumah-rumah yang sama tetapi berbeda dan kegiatan harian yang sama tetapi berbeda. Ini bagian bumi Indonesia yang lain, yang disebut Sumatera Barat.

Friday, September 06, 2013

Tanjungputus, dimana saya menemukan sahabat masa kecil saya: laut

Tanjungputus Beach


“Selamat datang Pak, bisa dibantu?” mas mas Dunkin Donuts menyapa sambil tersenyum.
“Mau pesan minum Mas?” jawab saya sambil mata tersorot menelususri daftar menu minuman.
“Bla bla bla bla …” mas mas Dunkin Donuts, mulai menawarkan beberapa macam minuman.
“Okay, saya coba kacang hijau blended-nya” jawab saya memesan, sambil menatap nanar gambar minuman berwarna hijau muda.
“Donatnya pak?” tawar mas mas Dunkin Donuts lagi, yang saya jawab dengan penolakan dengan lambaian tangan.
“Selamat Siang Pak,” sela mbak mbak kasir dambil tersenyum manis, “Bla bla bla …” lanjutnya kembali menawarkan paket dengan sepotong donat dan kembali saya tolak.

Dengan tangan menggenggam segelas minuman, saya pun meleburkan diri ke gerombolan pejalan yang akan berkelana menjelajah area Pulau Tanjungputus – Lampung (1.5 jam dari Kota Bandar Lampung).

Monday, August 26, 2013

Liburan dimana? Iya di Taman Nasional Ujung Kulon



Sinar cerah matahari siang menyengat semua jengkal kulit yang tak berselimutkan. Terbuai dalam ombang-ambing ombak kecil dan semilir angin laut, terayun dalam buaian keindahan celah kerajaan Poseidon.

Sunyi tanpa suara durukduk dari mesin motor kapal kayu, kami terdampar di tengah lautan. Yupe, sang empunya daya mengalami kendala sehingga kehilangan lajunya. Detik pada jam tangan terus berputar lewat 60 menit atau lebih, dan kami masih memandang bagian langit yang sama, di petak laut yang sama. Sebagian dari kami memilih berkunjung ke lembah utopis dalam lelap dan sebagian lainnya hanya memandang menyerap pemandangan laut hijau biru kelam dalam nyenyat.

“DUK … duk … dukduruduk dukdukduk” batuk dan erang sang motor memecah keheningan panjang yang disambut dengan seruan gembira para penumpang. Perjalanan kami pun berlanjut dari awal Desa Taman Jaya – Ujung Kulon menuju ke Pulau Peucang – Ujung Kulon.

Saturday, August 03, 2013

Mount Halimun National Park, Where Everthing is Perfect in Imperfection

WELCOME


I heard Sundanese music being played, not far from where I was sitting, from the sounds of Sundanese’s traditional flute to the beat of Jaipong’s melody. The wind softly blew and touched my skins, brought another kind of peace in my soul. My eyes, which were familiar with the horizon turned into red on the roof tops and skyscrapers, never had enough to watch all the rice fields, tea plants, the border of rain forest and a small river passing this small village.      

Laying down on patio, enjoying my early lunch with my new fellow travel buddies. Sharing stories and laughing like an old friends without any judgment. The conversation just flew to where it’s flown away.

I need this kind of break, from the hectic office hour with its tiring politic which make smile loses its meaning. Now I smile and somehow I knew the smile was truly a smile.

We were twelve (from friend asking friend), finally put our footsteps in Halimun Mountain National Park – Malasari Village (Halimun). Umro, Setyawan, Erin, Chiss, Tika, Octa, Adi, Dian, Nat, Eka, Inda and I. This is my story about us in Halimun. 
friend asking friend

Saturday, June 22, 2013

Taman Nasional Gunung Halimun, suatu keindahan ibu bumi dalam rengkuhan rahasia si halimun.

Taman Nasional Gunung Halimun
Alunan musik Sunda terdengar mengalun dikejauhan, dari nada syahduh hingga keceriaan denyut musik jaipong. Angin lembut bertiup menebaskan hawa sejuknya membelai kulit, menimang-ayunkan jiwa. Sepasang mata telanjang ini terbiasa melihat horizon hilang di bawah atap-atap rumah dan gedung pencakar langit dan saat ini tak bosan-bosannya menikmati, menyerap pemandangan pegunungan, sawah, kebun teh, hutan tropis dan sungai yang tersaji. Ah … sungguh mendamaikan hati.

Bersantai menikmati sajian makan siang di atas panggung sederhana semi terbuka dengan teman-teman seperjalanan. Berbagi kisah dan tawa, layaknya teman lama, dengan teman-teman baru, tanpa ada penilaian dan hanya mengalir santai kemana pun arah cengkrama ini berlalu.

Inilah selingan yang saya butuhkan dari rutinitas perkantoran dan segala apa yang biasa merong-rong, memudarkan goresan lengkung gembira di wajah saya. Di sini sekarang, garis lengkung itu kembali menguat riang memancarkan sejatinya arti senyuman itu sendiri.

Berdua-belas kami, hasil “teman mengajak teman”, akhirnya menjejakkan langkah kami di Taman Nasional Gunung Halimun - Desa Malasari (Gunung Halimun). Umro, Setyawan, Erin, Chiss, Tika, Octa, Adi, Dian, Nat-Nat, Eka, Inda dan saya. Inilah cerita kami dari pandangan mata hati saya.

Friday, June 07, 2013

Sedetik Dua Detik



Duduk di ruangan kerja, aku menatap pemandangan konstruksi dan rumah-rumah penduduk dari ketinggian lantai 19, bernaung langit yang cerah dengan gumpalan-gumpalan awan putih dengan semburat warna biru.
Duduk di ruangan kerja, aku ada ditengah keramaian para staff-staff keuangan yang hilir mudik layaknya para semut-semut pekerja yang tak kenal lelah memberikan yang terbaik. Aku dikelilingi oleh alunan dering telepon yang menjerit-jerit meminta diangkat, bunyi hentakan jemari-jemari tangan pada keyboard dan gelak canda, umpatan tertahan serta percakapan antar insan dalam ruangan ini.

Aku tersenyum, merasa damai dalam keramaian dunia yang telah kugeluti sejak tahun 2002 lalu dan entah apa sebabnya, senyuman yang terasa mengembang di bibir ini, membawa ingatanku kembali padamu, kepada senyumanmu, senyum untukku.

Tuesday, May 28, 2013

"KAPAN KAWINNNNN?"



“Kapan kawin?”
“Nunggu apa? Keburu tua lho!”
 “Kamu gay (lesbian) yah?”
“Ntar anakmu masih kecil-kecil, kamunya sudah tua!”
… dan masih banyak lagi bentuk kata lain dari pertanyaan-pertanyaan yang serupa. Bagi kaum single (khususnya yang sudah cukup umur), pastinya sudah tidak asing dan tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan ini, terutama pada acara-acara keluarga atau reuni.
Well, saya pun termasuk dalam kategori yang sering sekali menerima pertanyaan-pertanyaan itu.

Siapakah yang sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu? Tentunya para elderly dan teman-teman yang sudah menikah dan at least (so far) cukup atau bahagia dalam kehidupan berumah-tangganya.
Hal ini jelasnya nyata pada apa yang saya amati.
Teman dan rekan kerja yang tidak pernah menanyakan ke-single-an saya, mostly adalah mereka yang belum menikah juga atau yang telah mencicipi pahitnya kehidupan berumah tangga.
Mereka yang sedang dalam masalah rumah tangga kronis dan yang sudah divorce, malahan lebih cuek dengan status single saya dan bahkan lebih wise dalam memberi inputan tentang kata “pernikahan”.
Sempat seorang rekan kerja berkata (tidak dengan kata-kata yang sama benar) “Buat apa juga menikah jika malah memperberat kesedihan saat masih single.”
Begitu pula dengan kata-kata (yang menurut saya) bijak yang saya baca di sebuah buku (tidak dengan kata-kata yang sama benar) “kesenangan single akan digantikan dengan kesenangan berumah tangga dan kesedihan single juga akan digantikan dengan kesedihan berumah tangga.”

Saturday, April 27, 2013

I said “Hello, how do you do?” to the land of South Sulawesi


Lovely morning, the sun was so bright, the sky was so blue with white tinted spots of the clouds, and for the first time I scratched the land called Sulawesi with my footsteps.

My dream finally came true after a year of doubts to visit Sulawesi, even only in South Sulawesi. Now I’m here, standing in front of Hasanuddin International Airport main gate, welcomed by dozen of shouts from taxi drivers.

The first ever of my journey in South Sulawesi would be a road trip from Makassar (Ujungpandang) city, long way up to Palopo and Tana Toraja then back again to Makassar. Joining me were my two best friends, who have been my road trip buddies since couple years back to 2003.

Touching Tana Toraja – The Land of The Dead


Taking a deep view of the mountain, touching it with my imagination, carving the shape of the cliff and the valley with my fingers. The shadows of million trees was running alongside the car that took me through this mountain. The sky was blue and the clouds were white as they should be. The color of the ocean looked like a strange tinted spot in the horizon, when it showed between two mountains and slightly disappeared when we turned to the other side of this winding road. The road to Tana Toraja (Toraja).

The magical dark green shadows of the trees with its own mystery, welcoming us just when we passed the border of Tana Toraja. I turned off the air conditioner and opened the window. The wind was cool, fresh with the aroma of woods, dance upon my face together with the warmth of the sun which slipped between the trees. What a beautiful day to start a new chapter of vacation with my two best friends, in the land, called Land of The Dead. 

Musim Semiku


Duh kerjaan ini semakin lama semakin bertumpuk-tumpuk seolah tak ada habisnya.
“Anak ayam turun seratus, mati satu tumbuh seribu, jadi seribu sembilan puluh sembilan”, dendangku ngaco, sambil terus memeriksa dokumen-dokumen perjanjian kerja yang membentuk bukit-bukit kecil di meja kerja sampingku.
Secangkir kopi tidak lupa menemaniku dalam lembur hari ini, SENIN bro SENIN INI!
Kutarik nafas, mendesah panjang sembari kutarik satu bundel lagi dan tanpa sadar aku mendesah semakin panjang takala kubaca sepotong post it dengan tulisan “Pak, ini urgent” dengan gambar smiley face mengakhiri pesan singkat itu.
Ah work hard play hard lah, dengan load kerja seperti ini, aku harus ikut lagi acara Boys Night Out, Jumat ini. Hahaha pikiranku sejenak menjadi berseri mengingat acara yang digagas oleh salah seorang teman di kantor. Boys only with beer, cigarette and random topic buat diomongin ngalor-ngidul, yang ga auh dari cewek tentunya.
SEMANGAT, batinku sambil secara tak sadar mengangkat kedua tangan ini dengan jari tergenggam dan bunyi ping kecil mengalihkan pikiranku.

“Suennnn weekend ini aku ke Jakarta haha, kosongkan jadwal hari Sabtu siang dan kamu harus temuin aku nanti yah”, bunyi pesan darimu dan segera kubalas, “SIAPPPPPPPP.”

Saturday, March 16, 2013

Bali, When Love and Hate Collide! Is It Just Me? NOPE.


Saya menemukan diri saya berdiri ditengah jalan setapak kecil sambil memegang kamera dan termangu. Seperti De Javu tetapi kali ini memori tersebut dan kejadian kali ini sama-sama nyata adanya. Tidak tahu harus berbuat dan berkomentar apa,  maka saya kembali mengayunkan langkah kaki saya beranjak, diiringi langkah kaki 2 teman saya.

02 Februari 2013, Pantai Sanur around Mid Day.
Alih-alih berlarian dan bermain di pantai, saya dan 2 orang teman malahan memutuskan melihat-lihat dan tenggelam dalam kios-kios penjaja souvenir, baju, dll, di sekitaran tepi Pantai Sanur. Langkah kaki kami semakin dalam memasuki jalan setapak kecil itu dan rapatnya kios-kios souvenir mulai digantikan dengan jajaran café-café yang  sedang menggeliat memulai harinya.

Kereta Api kelas Bisnis


“Naik kereta api tut tut, siapa hendak turut, ke Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma, ayo kawanku lekas naik, keretaku tak berhenti lama”

Pengalaman pertama saya naik kereta api adalah di awal tahun 2003 dengan tujuan Ibukota – Jakarta dari Yogyakarta. Masih teringat benar saya akan rasa exciting dan penasaran saat pengalaman pertama tersebut, meski waktu itu naiknya hanya (dan untungnya) yang kelas bisnis – FajarUtama.

Di Stasiun Tugu Yogyakarta, saya menapakkan langkah pertama ke dalam gerbong kereta api dan untuk pertama kalinya dalam hidup saya, bisa melihat secara langsung dari dekat isi dalam gerbong. Perjalanan awal dari Yogyakarta ke Purwokerto saya lalui dengan tenang, damai dan terkantuk-kantuk oleh buaian angin semilir dan ayunan kereta api yang monoton membius. Tampak hanya beberapa bangku dalam gerbong saya yang terisi dan suara yang terdengar hanyalah music dari roda-roda kereta api itu sendiri.

Friday, March 08, 2013

Ayam Taliwang di Sudut Pasar 8 - Heavenly


Suatu siang di perkantoran – Alam Sutera Serpong,
“Eh suka ayam taliwang ga?” tanya seorang teman kantor..
“Suka dong, emang ada di daerah sini yang enak?” balas saya.
“Ada di Pasar 8, enak dan pedas banget deh, makan sana yuk” tandas teman saya.
“Pasar 8 mananya?” tanya saya lagi.
“Di warung-warung tendanya. Pasar 8 kan kalau malam parkirannya jadi warung-warung tenda gitu.” jelas teman saya.

Pasar 8 adalah kawasan pasar modern di area estate Alam Sutera Serpong – Tangerang yang berjarak kurang lebih 16 kilometer dari Jakarta Barat (Grogol). Kawasan Pasar 8 ini tepat terletak disebelah Flavor Bliss (kawasan street food di estate Alam Sutera) dan diseberang Living World Mall. Setiap harinya sejak kisaran pukul 6 petang, sebagian area parkir dari pasar ini, berubah fungsi menjadi warung-warung tenda yang menyajikan ragam kuliner nusantara, dari seafood medan, nasi campur Bali (halal), bubur, nasi uduk,dan lain-lain, termasuk ayam taliwang khas Lombok.

Saturday, February 16, 2013

Aku kangen … masih


Ah males banget, tapi kudu beresin kamar yang sudah berdebu dimana-mana *sigh*. Ngelap ini inu, sapu sana sini, beresin isi lemari yang acak adut dan sudut mata ini menangkap bentuk sebuah buku dengan sampul hitam, teronggok dalam tumpukan buku-buku lainnya.

Diam, hanya menatap ke si hitam dan helaan nafas tanpa sadar keluar diiringi dengan senyum datar tanpa inti sejatinya.

Si hitam yang lama tak terlihat dan telah lama hilang dalam memori. Si hitam yang enggan ku buka lagi tapi enggan pula ku musnahkan. Si hitam yang berisi kamu.

Si hitam yang penuh dengan coretan tanganku tentang kamu. Kamu yang membuat segalanya indah dan yang membuat segalanya runtuh, tenggelam dalam pusaran, menghempaskanku dalam dasar gelap sendiri.

Another Great Weekend Getaway - in The Island of The Gods, Where You Can't Say No to FUN


30 Januari 2013 petang hari,
Berdiri di teras rumah dan menikmati semilir angin yang menghempas menari kecil di kulit telanjang saya.Segurat senyum nampaknya sering melipir ke wajah saya minggu ini, setelah kerut-kerut di wajah, akhir-akhir ini seperti sudah paten saja.Weekend ini saya akan do traveling! kemana? yang dekat saja ke Bali. Meski hanya semalam, weekend getaway ini jelasnya sangat saya tunggu-tunggu dengan gembira, pasalnya kegiatan traveling yang saya gandrungi terpaksa harus terhenti dulu karena saya memutuskan untuk pindah tempat kerja dan anak baru mana bisa cuti. Meski baru dua bulan lebih saya cuti traveling tapi seolah sudah lama banget absen, apalagi hampir setiap hari racun-racun destinasi dan promo ticket disuntikkan dalam pikiran saya oleh oknum-oknum tertentu (oh I’m sure you know who you are, love you and hate you guys).

Weekend getaway ke Bali, saya rasa saat ini sudah cukup untuk menambal kerinduan saya akan traveling dan yang membuat lebih fun adalah karena saya tidak sendiri tapi ditemani oleh beberapa teman-teman traveling.

02 Februari 2013,
“Woy, ini belok mana? Kanan atau kiri?” pertanyaan ini yang sering sekali saya tanyakan kepada teman-teman saya, yang kadang dijawab dengan pasti tetapi kadang juga dengan keraguan, bahkan terjawab dengan diam haha.

3 orang plus 3 orang dengan tema GET LOST in Bali (Area Kuta, Denpasar, Sanur).