Sunday, November 24, 2013

Papandayan - Keindahan persembahan Ibu Pertiwi Indonesia-ku

Pemandangan di Gunung Papandayan


Kami duduk berkumpul dalam lingkaran kecil di tengah 4 tenda kami, beralasan jas hujan yang digelar menjadi pengganti tikar. Hangat dalam balutan jaket masing-masing dengan cemilan yang mulai mengisi kekosongan area tengah lingkaran kami. Saya memandang wajah-wajah yang masih menampakan keletihannya tetapi dengan sorot mata yang ceria dan bahagia menyisakan semangat berpetualang. Saya menyesap cairan kopi hitam panas yang sedikit manis, mengalir perlahan melalui gorong-gorong kerongkongan saya. Kopi hitam panas yang berkubang dalam gelas kecil saya, mengepulkan uap panasnya melayang ke atas dan berbaur dengan tirai kabut yang menyeruak masuk ke area perkemahan ini dari puncak singgasana sang tuan tanah 7 puncak pegunungan ini.

Canda dan random topic dalam obrolan petang masih mengisi waktu kami dalam suhu yang semakin dingin dan sang angin yang tak henti-hentinya bertiup seolah berputar-putar di sekeliling kami mencoba mencuri dengar apa yang tampak asyik kami bincangkan.

“Ada yang mau mie lagi?” tanya sang komandan, dan langsung dijawab berebut dengan satu kata “GUE!”
Well menu apa lagi yang terdengar lebih menggoda selain mie instant, untuk menemani raga fana ini berteman dengan udara dingin dan angin yang tak lelah mengibaskan sayap-sayapnya.

Sesiangan sebelumnya, kami berjalan dan mendaki gunung landai ini, serta membuka tenda di tanah lapang bernama Pondok Saladah, area datar yang dikelilingi oleh ilalang gunung dan semak-semak Edelweiss. Di sinilah kami berada, Gunung Papandayan.