Saturday, December 20, 2014

Gasing dan Kelereng



The Next Generation of Harapan Jaya

Speed boat yang kami gunakan merapat ke dermaga kayu sederhana itu. Beberapa detik saya habiskan untuk melihat sekeliling dermaga dan hari masih jauh dari kata senja.

“Har, abis naruh barang, ke warung lagi yuk” ajak Aria.
“Yuk, sekalian minum yang dingin-dingin” timpal saya.

Tak membuang waktu lama berjalan ke penginapan, menaruh barang dan kembali melewati deretan rumah di desa kecil ini, menuju ke satu-satunya warung yang menjual minuman dingin karena hanya warung itu yang mempunyai lemari pendingin. Kali ini kami tidak berdua saja tetapi dikuntit oleh tiga teman seperjalanan lainnya: Anna, Prue dan Ferry.

Sunday, December 14, 2014

Catatan Semalam di Yogyakarta



Tugu - Yogyakarta
Kakiku melangkah menuruni gerbong kereta dan menjejakkan telapak kakiku di stasiun ini, lagi. Semua potongan-potongan memori lama berkelebatan layaknya pemandangan yang terpigura berlari menjauh dari jendela kereta tadi. Stasiun ini bergeming dalam keramaian ratusan orang yang berjalan lalu lalang melaluiku. Ada saat aku berdiri diam dan menyerap semua dalam indraku yang sadar.

“Har, ayo.” Seru seorang teman seperjalanan menggugah kegeminganku.
Setapak demi setapak kaki ini melangkah mengikuti kaki-kaki lain yang berjalan keluar dari stasiun ini. Di luar matahari bersinar cerah dengan riak awan membentuk noda-noda putih di langit yang biru cerah.

“Mas, taxi?” tawar seorang sopir taxi. Dan aku sadar kota ini menyapaku, memberikan senyuman selamat datang kembali melalui raga seorang sopir taxi.
Delapan tahun lebih sejak terakhir kalinya aku melebur dalam irama kota ini, meninggalkan semua canda, tawa, tangis, amarah dan gairah.

“Welcome back.” Bisikku lirih kepada jiwaku yang sangat merindu akan kota ini, Kota Yogyakarta.

Sunday, November 16, 2014

Penjelajahan ke Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Indonesia Tercinta

at the top of Harfat Jaya, photo credit Anna
“Dermaga Dom” kata Pak Anes, salah seorang sopir taxi dari iringan beberapa taxi yang mengantar kami ke salah satu dermaga di Kota Sorong dari Bandara Dominique Edward Osok, Papua Barat.

Berasal dari beberapa penjuru kota di Indonesia dan terbang dengan beberapa maskapai penerbangan, untuk mencapai sebuah titik kecil di peta nusantara pada sinaran matahari yang berbeda Akhirnya kami bertemu di ujung dermaga ini. 17 orang yang rata-rata asing terhadap satu sama lain. 17 orang yang dipertemukan oleh garis jodoh tipis karena kegemaran yang sama, yaitu perjalanan dan alam serta Tukang Jalan haha.
view from Dermaga DOM
***
Kami berlayar membelah perairan Raja Ampat, menuju ke Gugusan Pulau Misool. Saya, Henny, Anna dan Aria, duduk di sisi belakang speed boat dengan bonus sinar matahari timur yang menyengat dan hempasan angin laut yang segar. 

Yah kami telah disambut, dan alam Papua pun mengucapakan selamat datang.

Tuesday, September 23, 2014

Getaway: Ujung Kulon National Park – The West Edge of Java



The sun was bright, burnt every spot of my bare skin. Lulled by the wind and gently wave, swung at the cradle of Poseidon’s Kingdom, I was awake in this lullaby’s world.

It was very quiet without the sound of the boat’s machine “dukdurukduk”.
We “Lost”!
We knew where we went to, but the machine didn’t work at all. We were in the middle of somewhere between Sunda Strait and Indian Ocean. Second turned to minutes, and minutes turned to hours, and we were still looking at the same spot of sky. Some of us were fell asleep to their own journey to utopian world and some just sat, felt the Apollo eye burnt our skin with the blue color of the sea as the edge of our sight.

“DUK … duk … dukduruduk dukdukduk” the sound of the motor cracked the silence and Thank God, finally we continued our trip to Peucang Island – Ujung Kulon National Park (from Taman Jaya Village).

***

Thursday, August 28, 2014

A story from Alor, Nusa Tenggara Timur, my Indonesia



“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” The warriors of Takpala shouted, whileThe Takpala’s women singing a song and dancing in front of them, guiding us through the stone stairs and a path to the center of the village.  

“Awesome, but the currents are so strong. I’m exhausted” talked about the underwater and the currents at Hari Lolong.
“Yeah and we docked against the currents flow”
“Haha, I got to take some break, before reaching this boat” 

“So, how? Satisfied?“
“Yes, sure thing and no regret when going back to Jakarta this afternoon”
“Haha… exactly!”

“Halo” the Ternate’s kids greeted.
“Halo” “Halo” “Halo” so many halo with ear-to-ear smiles and giggles.

Those story chapters are still so clear in my memory. Those, what we would always talk about, to share and would last forever. My memory of the journey to Alor Island in Nusa Tenggara Timur Provence, my Indonesia. 

Friday, August 22, 2014

Penjelajahan di Alor - Nusa Tenggara Timur, Indonesiaku



“Hat hat hat hat…” “Hat hat hat hat…” seruan prajurit-prajurit Takpala, diikuti derasan dendang para wanita-wanita Takpala yang bergerak menari gemulai, menuntun kami menaiki undak batu dan berjalan melalui setapak jalanan batu menuju ke pusat desa mereka.

“Bagus yah tapi arusnya kuat banget di sini, cape banget nih baliknya” mengomentari taman laut dan arus di Hari Lolong.
“Iya, kalau ke sananya mah enak banget karena kebawa arus”
“Iya haha, baliknya kudu berhenti beberapa kali buat istirahat”

“Gimana? Puas sudah?”
“Puas dan no regret buat balik Jakarta siang ini” seusai menikmati taman laut Pantai Sebanjar, untuk kedua kalinya.
“Haha… pastinya”

“Halo” seruan bersahabat anak-anak Ternate.
“Halo” “Halo” “ Halo” yang tak ada habisnya terserukan. beriring senyum lebar dan gelak tawa.

Cuplikan-cuplikan kisah itu masih teriang kuat dalam kelebatan memori. Seolah takkan pernah habis untuk dibicarakan lagi, diceritakan lagi dan tentunya tak akan hilang dengan berlalunya waktu. Memori tentang penjelajahan saya di Pulau Alor yang terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesiaku.

Wednesday, July 23, 2014

Halimun, Dimana Secuil Hati ini tertambat




Rebah, berbaring di atas ranjang kapuk sederhana, raga ini tak inginkan malam berlalu. Otot kaki yang pegal-pegal karena trekking melintasi hutan siang tadi pun, menjadi sesuatu yang terindukan. Suasana khas pedesaan menemani jiwa yang belum lelap ini. Suara riak air dari sungai kecil di belakang kampung terdengar jelas, gesekan dedaunan pohon-pohon hutan indah berirama, beragam bunyi dari hewan-hewan nocturnal saling bersahutan. Layaknya sebuah orchestra alam yang mendendangkan pujanya kepada ibu bumi yang dicintai.

Berusaha menahan otot mata untuk tetap terbuka dan tak puas-puasnya menikmati semua kedamaian ini. Meresapi setiap detik yang berlalu, mencakup dengan semua panca indera yang sadar. Jiwa ini bahagia, jiwa ini damai, jiwa ini mereguk manisnya rindu akan desa kecil ini dan alam sekitarnya. Jiwa ini tersenyum sejati, sadar akhirnya kembali ke tempat ini, Desa Malasari – Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Wednesday, June 18, 2014

Kecipak Kecipuk Terbius oleh Paras Taman Laut Anambas



Pulau Bawah - Anambas
Angin laut menghempas kencang menampar kulit muka dan tubuh. Sesekali air laut yang hangat memercik dari gulungan-gulungan ombak kecil berbuih yang tercipta dari kombinasi lambung speedboat dan baling-balingnya. Langit biru cerah dan matahari bersinar terik meski terkadang terhalang oleh arakan awan di atas sana. Speedboat ini melaju kencang membelah Laut China Selatan, menghantar kami menjelajahi pulau-pulau kecil yang rata-rata tidak berpenghuni, bertebaran bergerombol membentuk Kepulauan Anambas.

Pulau-pulau kecil berbukit dengan batu-batu granit besar membingkai pantai pasir putihnya. Ratusan pohon-pohon kelapa berjajar melambai mengikuti buaian sang angin. Suasana damai, tenang dan membuai, berlagukan dengungan speedboat saja. Inilah tipikal dari pemandangan di Kepulauan Anambas. Indah tapi tak membius seperti halnya cerita tentang keindahan taman lautnya. Di sinilah kami melaju, menuju ke beberapa tempat untuk membuktikan, melihat dan menikmati bius Taman Laut Kepulauan Anambas.

***
Berbulan-bulan sebelum hari H ☼
“Yuk ke Anambas.”
“Dimana tuh?”
“Di Kepulauan Riau, deket Natuna sana. Keren, salah satu kepulauan tercantik di Asia Tenggara versi National Geographic.”
“How?”
“Nanti kita terbang ke Batam trus lanjut terbang ke Matak di Anambas, trus lanjut naik pompong ke Tarempa.”
“Er… I assume Matak ama Tarempa salah dua dari banyak pulau di Anambas yak. Nah kalo pompong apaan?”
“Pompong mah yah kapal kayu pake motor tempel gitu, sebutan lokalnya aja pompong.”
“HUWOW! Hayuk lah.”

Friday, May 02, 2014

Kau Dingin



Kau diam, diam dan diam
Bergeming hadapku
Abaikan semua kata cintaku
Berbahasa dalam angan dan duniamu saja

Usai bagiku untukmu
Senyummu telah pergi dari lukisan wajahmu
Kilau matamu telah padam dari danau matamu

Merobek segala harapan
Memupuskan segala keinginan
Dinginmu mematri luka semakin dalam

Wednesday, April 23, 2014

Di Suatu Hari - 4 Babak dan 4 Cerita





Prolog

“Heeeeyyy guys long weekend, jalan yuk” (mengacu pada hari Sabtu tanggal 19 April 2014)
“Iya yuk, muter-muter dalam kota Jakarta aje ye”
“Siapa aja nih, semobil cukup ga yah? haha”
“Nih ada Donal, Tyo, Astrid, Ulfa, Hardi, Harry, trus siapa lagi?”

2 minggu kemudian

“Besok jangan lupa yah, ketemunya jam 7.30 pagi, jangan molor”
“Iya, okidoki”
“Pakai celana pendek apa yah?”
“Eh si Dimas mungkin sore mau join, tapi si Tyo mungkin misah pas siang”
“Jalur sih udah kayak plan tapi ntar realisasinya suka-suka deh yah”

1 hari dalam masa long weekend ini, kami akan singgah ke 4 lokasi di Jakarta. Kami akan menulis cerita-cerita kecil dalam 4 babak.

Sunday, March 30, 2014

Papandayan - The Beauty of Mother Nature, My Indonesia



We sat down in little circle, between our tents, and took one of our raincoats as our carpet. Warmed in wool jacket, I looked at the faces in the circle. They looked so tired yet so happy and cheerful. I could see in those eyes that they still had strong enthusiasm of this tiring trip. I sipped my black coffee, with light taste of sweet, flowed run into my throat. A cup of hot black coffee, so dark and so perfect with its steam flew up, up and up, blended into curtain of mist which came passed our camping ground. We sat down in little circle, here on the plain of Seven Peak Mountain’s throne.

Jokes and random topics in our chat, definitely, warmed us up in weather which was getting chillier every second. The wind circling around us, blew stronger every second, eavesdropped every rumors that we talked about.

“Does anyone want some instant noodle?” the commander shouted and directly replied by everyone who heard it, with “Me, me, me.”
Well, I think instant soup noodle was the perfect snack in this chilly and windy weather.

Back to the early afternoon, we had walked, trekked and hiked the mountain and set the camps in plain. It called Pondok Saladah which was surrounded with weeds, trees and edelweiss bushes. Here we were, in Papandayan Mountain.

The Taste of West Sumatera - Indonesia



“Welcome to Padang and West Sumatera.” Bayu, the local tour guide welcomed us.
*handshakes and how are you thingy*
“Bla bla bla …” we talked to each other.
“Okay, we have to adjust to the schedule a little bit and now we are heading to Anai Valley.” Bayu said to us.
“Nope.” I replied.
“Harry, I think we have to go to Anai Valley first to avoid bad traffic jam.” Bayu answered.
“No before we find something to eat, I'm starving to dead.

3 days 2 nights in West Sumatera, in our road trip, crossing this province and indeed the culinary is one of many unique and delicious culinaries in Indonesia. The Cuisines, Beverages and Snacks of Minangkabau.

Friday, March 14, 2014

On THe Road Again - to The East (Malang City, Ijen Crater, Baluran National Park and Bromo Crater)

Bekol Savannah - Baluran National Park



The sky was dark with a beam of moonlight. The stars twinkled and were spread in the dark sky. The urban traffic with beam of thousands of cars slowly decreasing then disappearing once we drove onto two sides of road into nature areas, which haven't been touched yet by concrete blocks and modernization. The road was showing the shadow of tall trees which seem wanting to touch the limitless sky.     

I opened the window and felt the cold breeze wind touching my bare face skin. Enjoying all the natural beauty of stars, which I hardly see daily. Having been living inside the jungle of skyscrapers, I am used to breathe hot air with its pollution with foggy sky upon me. I turned my head to the back seats and smiled. 5 sleeping heads followed this shaky car and it seemed their soul travelling deep into their land of dream. The lands of adventurous stories were made.

Saturday, February 15, 2014

Tanjungputus, where I found my childhood’s best friend: SEA



Tanjungputus Sea
“Welcome sir, may I take your order?” the cashier at Dunkin Donuts greeted me with his big smile.
“Yeah, I like to order some cold beverage.” I replied while looking at menu board.
“Bla bla bla bla ….” The cashier directly offered me many kind of cold beverages.
“Okay, I try Green Beans Ice Blended.” I ordered.
“Donuts?” the cashier added while he was inputting my order.
“Ah, no thanks.” I replied with no no hand waves.

With a cup of green beans ice blended in my hand, I sat around the table which was full already by my friends (some are new) who joined this trip. Trip to Tanjungputus Island – Lampung – Sumatera (about 1,5 hour from Bandar Lampung City).

It’s always a pleasure and awesome to share our stories with other travelers. We talked about how we got there and the beauty of the destination itself. We compared the cost without any “cheapest” competition; just being fair compared the cost and the facilities. We shared about couple destinations that we had been visited, shared tips and information, etc.

There we were, twenty five of us, gathered and just about to start our journey with 3 hour bus-ride from West Jakarta to Merak Harbor. From The Merak Harbor we continued the journey by a ferry, crossed the Sunda Strait to Bakauheni Harbor and passed Bandar Lampung City by mini buses to Ketapang Dock. We still had to ride a wooden single motor boat to Tanjungputus Island. Yeah it was quite long journey to Tanjungputus Island from Jakarta (around 10 hour).
The worst thing was, I forgot to bring either my ipod or books, while I found that night was one of my insomnia nights.

Sunday, January 26, 2014

Aku Pernah dan Aku Diam



Kupandang wajah bulat itu di cermin.
Kupandang senyum pada kanvas wajah itu ketika segaris bulan sabit tergambar.
Kupandang semua lekuk dan bentuk wajah itu.

Ku desahkan nafasku panjang, menciptakan embun yang memburamkan bayangan di cermin.
Biarlah bayangan itu selamanya menjadi bayangan.
Biarlah bayangan itu selamanya tersembunyi dalam buram.

Pernahkah kau melakukannya? Aku pernah dan aku diam.
Terlahir sebagai anak laki-laki ke dua dalam keluarga. 
Terlahir sebagai anak laki-laki yang itu dalam keluarga.
Terlahir sebagai anak laki-laki carut dalam keluarga.
Pernahkah kau menerimanya? Aku pernah dan aku diam, inilah takdirku.

Saturday, January 04, 2014

on The Road to Ijen, Baluran and Bromo




Malam kelam dengan sedikit sinaran bulan, dihiasi oleh kerlip kecil bintang-bintang yang bertaburan di kanvas langit yang hitam. Ramainya jalan raya dengan blitz-blitz sinar lampu dari kendaraan bermotor semakin berkurang dan hilang di kejauhan, tertinggal dalam laju kami menyusuri jalanan 2 lajur, membelah daerah-daerah yang masih alami dan belum tersentuh oleh beton-beton bertingkat. Dalam bayang-bayangannya hanya tampak pantulan pohon-pohon tinggi menjulang, mencoba menyentuh langit yang konon tak berbatas.

Kujulurkan kepala ini sedikit melalui jendela mobil yang terbuka. Sejenak kurasakan hempasan udara dingin segar di paras muka telanjang ini dan melongok melihat indahnya ribuan bintang bertaburan yang tak mungkin aku nikmati setiap hari. Hidup dan tinggal dalam himpitan beton dengan udara panas berpolusi dan langit yang selalu tertutup lembayung polusi itu sendiri. Kutolehkan kepalaku ke bangku belakang dan seketika ucapanku tertahan, tersenyum melihat 5 kepala yang tergolek, dalam perkelanaannya di dunia sana, bergerak mengikuti irama goncangan mobil ini.