Tuesday, November 10, 2015

Sebidang Surga sedikit di Bawah Air, Pulau Hatta - Banda Neira



Kugerakan fin melaju perlahan, menjelajah petak-petak taman laut di pulau ini. Menikmatinya tanpa bosan dari balik google snorkeling. Mencetak ratusan moment dalam benak dan mencoba mengabadikan beberapa melalui camera underwater.

Underwater di Pulau Hatta sangat indah, dengan ragam jenis coral dan ribuan ikan yang merong-rong coral-coral itu. Area landai yang sempit, berujung pada wall yang tajam dan dalam. Hal ini mengingatkan saya pada kontur underwater di Pantai Sebanjar, Alor.

Betah rasanya berlama-lama snorkeling di sini, apalagi Moorish Idol berseliweran dimana-mana. Jika kebanyakan pencinta foto underwater berburu clownfish, maka moorish idol adalah buruan saya. Warnanya yang cerah kuning, hitam dan putih membuat moorish idol tampak mencolok di habitatnya. Tubuh berbentuk segitiga dengan ujung sirip atas yang panjang dan moncong yang cukup panjang mengerucut, membuatnya menjadi salah satu ikan yang sangat anggun dan berkharisma. Jarang saya melihat moorish idol yang berkeliaran sendirian, dan kali ini pun terlihat beberapa group kecil yang terdiri dari 2 sampai dengan 4 ekor moorish idol. Mereka berenang dengan tenang, tapi gesit, mencari beberapa suap makanan pada petak-petak coral yang terhampar panjang sekali mengikuti garis pantai Pulau Hatta, di Kepulauan Banda Neira, Maluku Tengah, Indonesia.

Saya terus melaju mengepakan fin perlahan dan di sana, hampir tersamarkan oleh warna coral, dia diam memandang saya.

***
“Uhui keren abis”
“Lumayan bening nih, arusnya kayaknya juga ga terlalu kenceng”
“Ayo cepetan, ga sabar nih nyemplung”

Celoteh para pencinta alam, khususnya penikmat underwater, bersahut-sahutan. Kapal pun berlabuh dan satu per satu dari sisi belakang, kami menginjakkan kaki ke pasir pantai lembut berwarna gading.

Tampak di tepi pantai beberapa bangunan penginapan berdiri berjajar. Satu rumah terisi oleh beberapa turis asing, yang sedang bersiap-siap akan ber-snorkeling juga. Sedangkan satu bangunan lain tampak kosong.

Lucky us, di antar 2 bangunan penginapan terdapat sebuah bale-bale sederhana, dari anyaman bambu, kosong sehingga bisa kami pakai untuk menaruh barang-barang kami.
wefie dulu before snorkeling
Tak menunggu lama, kami segera menyusuri garis pantai terujung yang bisa kami tempuh. Hal ini kami lakukan supaya kami ber-snorkeling bergerak mengikuti arus dan akan berhenti di sisi ujung lawan yang tidak jauh dari bale-bale tempat barang-barang kami berlabuh. Celoteh dan tawa mengiringi saat kami memakai peralatan snorkeling dan mulai merasakan sejuk hangatnya air laut yang tampaknya menjanjikan sebuah moment yang apik.

Segala keriuh-rendahan itu mendadak sirna saat saya mulai ber-snorkeling dan membutakan telinga saya ke dalam air. Saatnya indera mata saya yang bekerja maksimal dalam menyerap janji nyata yang terpampang pada lanskap underwater di bawah saya.

Kondisi air laut saat itu tak sejernih apa yang kami kira sebelumnya, tetapi cukup untuk membuat kami terbuai dengan pemandangan bawah laut yang kami telusuri. Coral-coral tampak bergerumbul membentuk lembah-lembah dan gundukan-gundukan kecil, seolah tak berujung. Ribuan ikan berkeliaran di lorong-lorong dan langit dari petak-petak kota coral. Kota coral ini tidaklah lebar tetapi memanjang dan menjorok menjadi wall, menghadap ke laut lepas. Schooling fish dari berbagai jenis ikan, bergerombol membentuk gank-nya masing-masing, ikut berpesta dalam moment apik. Moorish idol idola saya pun begitu banyak dengan ukuran yang besar-besar, membuat saya hilir mudik mencoba bermain dengan mereka dengan cara membuntuti kemana mereka bergerak.
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Entah berapa lama sudah saya bergerak menyusuri garis pantai yang cukup panjang, terbuai akan keindahan yang dipersembahkan oleh ibu bumi. Sesekali saya menengadah, melongok posisi saya dan keberadaan teman-teman di karpet warna biru yang terkadang menjadi toska.    Saya membenamkan kepala, bergerak kembali dan terus melaju mengepakan fin perlahan dan di sana, hampir tersamarkan oleh warna coral, dia diam memandang saya.

Oh my God, seekor sea turtle remaja bergeming di atas sebuah coral lebar, memandang seolah mencoba menilai saya dengan sedikit waspada. Saya pun sedetik atau dua, terdiam pula dipermainkan arus kecil, memandangnya.

Sesaat kemudian dia bergerak kembali perlahan, sesekali mematuk-matuk sesuap dua suap makan siangnya, sesekali dia berenang ke permukaan dan kembali meluncur turun dan berkelok-kelok mengikuti kontur kota coral yang terhampar. Sungguh anggun dan tampak gemulai menikmati dunianya yang tenang.

Beberapa waktu saya bergerak mengikuti dia, tetapi dengan jarak yang tidak terlalu dekat karena saya tak mau mengganggu ketenangannya. Sungguh suatu moment yang tak pernah saya perkirakan dan harapkan sebelumnya akan saya temui di Pulau Hatta ini.
 
***
Maksud hati ingin ber-snorkeling beberapa lama lagi tetapi lama-lama pegal juga nih mata kaki mengayuh fin dan perut mulai keroncongan.

Saya menepi dan tampaknya teman-teman seperjalanan yang lain juga telah menepi dan sedang menikmati makan siang.

“Har, makan dulu”
“Ho oh, larper banget nih”
“Duduk sini nih, menunya nasi kuning. Enak!”

Membuka bungkusan makan siang dan saya duduk di undakan tangga sebuah penginapan. Menyuapkan makanan yang sedap dengan pemandangan yang indah. Hamparan laut biru dan toska terhampar sejauh mata memandang, deburan ombak menyapu pantai mencoba bermain dengan pasir lembut. Ah moment inilah yang saya sebut sempurna.

Sinar matahari bersinar hangat dan semakin membuai jiwa-jiwa kota yang haus akan keindahan alam tanpa polusi dan perusakan. JIwa-jiwa yang selalu mencoba menggapai sudut-sudut nusantara yang belum terjamah oleh modernisasi yang berlebihan. Modernisasi yang seringnya membawa dampak negative yang lebih besar bagi alam, meski membawa dampak positive yang baik untuk masyarakat lokal.

Suatu dilema yang berat yang terkadang harus dipilih, saat kesejahteraan manusia harus berhadapan dengan keseimbangan dan kelestarian alam. Saya tak berani berpendapat mana yang lebih crucial, mana pilihan yang terbaik. At the end semua pilihan itu tidak berbanding sama antara dampak negative dan positive-nya, pun bagi subyek dan obyek yang tak sama pula.

Akan tetapi, dalam kerendahan hati yang ada, saya hanya berangan lima tahun lagi atau sepuluh tahun lagi, saya masih bisa bertemu dan berenang bersama dengan apa yang hampir tersamarkan oleh warna coral, yang sedetik atau dua, diam memandang saya di atas kota coral di perairan Pulau Hatta, Kepulauan Banda Neira, Maluku Tengah, Indonesiaku.

3 comments: