Thursday, February 23, 2017

Hello Hong Kong, (Day 3) The Peak



More pictures in my Instagram @harry_mdj


Di hari ketiga, kami menyempatkan diri ke daerah Causeway Bay karena paket data hp teman saya bermasalah, sedangkan pulsa sudah terpotong.

Di Causeway Bay, Keswick Street, kami temui gedung Grapari Telkomsel, Kedutaan Indonesia, kantor cabang Bank Mandiri dan kantor cabang BNI. Di sebelah Grapari malahan ada toko khas Indonesia yang selain menjual produk Indonesia juga menjual kue-kue basah khas Indonesia.

Tips:
Info ini kami dapat dari mbak-mbak baik hati di Grapari, untuk paket roaming di Hong Kong better menggunakan nomor pra bayar dibandingkan dengan nomor Hallo atau pasca bayar.
Untuk ke Causeway Bay, gunakan MTR (Island Line), turun di MTR Causeway Bay dan lanjut berjalan kaki ke Keswick Street .

Dari Causeway Bay, kami kembali ke Kowloon, menuju ke salah satu temple utama di Hong Kong, yaitu Wong Tai Sin Temple atau biasa disebut juga Sik Sik Yuen Temple. Sebuah rumah ibadah untuk 3 aliran agama (Taoisme, Buddha dan Konghucu). Temple ini mulai dibuka untuk umum pada tahun 1956 dan sejak saat itu selalu ramai dikunjungi oleh pengunjung yang biasanya datang untuk berdoa menyampaikan permohonannya.
Bangunan tempat ibadah ini juga konon mewakili lima unsur geomantic, yaitu: logam (Paviliun Perunggu), kayu (Gudang Arsip), air (Air Mancur Yuk Yin), api (tempat suci Yue Heungi dan tempat pemujaan Buddha), dan tanah (dinding tanah).

Pada saat kami berkunjung, ternyata bertepatan dengan entah hari raya apa? (atau sejenisnya). Ramai sekali bahkan untuk berjalan masuk harus antri dan merayap. Kami yang terlanjur ikut arus merasa tidak enak karena mereka yang datang mostly adalah untuk berdoa. Saat memutar ingin kembali malah tidak diijinkan oleh petugas dan tetap disuruh mengikuti arus pergerakan orang yang ingin naik ke main temple untuk berdoa.

“Sir, is it okay that we are not praying here?” tanya saya kepada petugas.
“It’s okay” jawab petugas yang untungnya sedikit-sedikit mengerti bahasa Inggris, sambil mengarahkan kami dengan gerakan tangan.

Tips:
Di sisi luar temple terdapat sebuah bangunan lagi yang “dipagari” oleh puluhan toko souvenir. Souvenir yang dijual lebih ke barang-barang kerajinan tangan yang berbau agama, bukan souvenir ala-ala Hong Kong. Dibalik jajaran toko tersebut juga terdapat sebuah lorong sempit yang dijejali dengan puluhan toko kecil-kecil yang berujung ke sebuah bangunan yang cukup besar yang berisi puluhan tukang ramal yang membuka praktek. Mau coba diramal? Ga yakin peramalnya bisa bahasa Inggris sih.
Jika berbelanja di sini, jangan lupa tawar juga. It’s common.
Untuk mencapai Wong Tai Sin Temple, gunakan MTR (Kwun Tong Line), turun di MTR Wong Tai Sin dan berjalan ke exit Wong Tai Sin Temple/Sik Sik Yuen Temple. Dari pintu keluar MTR, gapura awal komlpek temple sudah akan menyambut di sisi kiri.
Memulai dengan sarapan
Murah ini! Paket telur orak arik, roti panggang, noodles soup dan pork chop hanya seharga HKD 35
Wong Tai Sin Temple
Keramaian pada saat kami berkunjung
Tak mendapat tempat di main temple, sesaji dan doa pun dihanturkan di pelataran depan main temple
Handy-craft Tunnel
Entah untuk apaan, saya ikutan aja menulis nama mandarin saya
Lepas dari keriuhan di Wong Tai Sin Temple, kami menuju salah satu landmark utama dari Hong Kong setelah Big Buddha di Ngong Ping, yaitu The Peak.

Untuk mencapai The Peak kami memutuskan menggunakan The Peak Tram. Agak jauh juga kami harus berjalan dari MTR Central menuju ke The Peak Tram. Untungnya banyak petunjuk sehingga tidak membuat kami tersasar. Sesampai di Peak Tram Station ternyata antrian sudah mengular hingga lebih dari 100 meter.

Dari MTR Central berjalan melalui taman ini
Setelah 1 jam lebih akhirnya mencapai antrian yang sudah dekat ke antrian masuk tram
Tips:
Tiket bisa dibeli di hotel tempat menginap (we did) untuk paket Peak Tram Return, Madame Tussaud dan Sky Terrace 428. Kami beli di hotel dengan harga HKD 310 dan tetap harus antri hingga sekitar 10 meter dari pintu masuk, baru kami bisa by pass karena sudah memiliki tiket. Antrian tersebut memakan waktu kami 1,5 jam lebih. Saran: jangan beli di hotel tetapi pada saat antri, pasti beberapa staff dari Madam Tussaud menawarkan pembelian paket yang sama seharga HKD 315 (Iya! Cuma HKD 5 lebih mahal) dan bisa langsung masuk ke pintu masuk melalui loket Madam Tussaud.
Alternatif lain adalah gunakan bus umum yang harga tiketnya jauh lebih murah, tanpa antri meski harus menempuh perjalanan selama kurang lebih 1 jam dengan pemandangan yang sama jika naik tram.
Untuk mencapai Peak Tram Station, guankan MTR (Island Line) dan turun di MTR Central.

Tidak lebih dari 30 menit kami menumpang tram (cukup berdesakan) menuju The Peak. Sesampainya di sana kami langsung disambut oleh ragam souvenir shop di The Peak Market. Untung kami sudah belanja duluan di Ladies Market sehingga tidak tertarik membeli di sini karena harganya jauh lebih mahal.

Langkah kami segera menuju ke Sky Terrace 428 dan menyaksikan panoramic view atas keindahan hutan gedung pencakar langit Hong Kong.

“Ini juga Hong Kong banget view-nya” ujar teman seperjalanan yang saya jawab dengan anggukan.
Sky Terrace 428
Tips:
Tiket paket yang terdiri dari Peak Tram return dan Sky Terrace 428 hanya terdiri dari 1 tiket saja dan akan dipergunakan pada saat masuk ke tram (pergi, pulang) dan ke Sky Terrace 428. Jadi jangan sampai hilang. Sedangkan untuk masuk ke Madame Tussaud, kita akan diberikan tiket yang berbeda.
Di Sky Terrace 428, jika ada yang menawarkan foto resmi, kita harus melakukan claim di pintu keluar dan membayar biaya tambahan atas hardcopy foto tersebut.

Diterpa hembusan angin dingin di Sky Terrace 428, membuat perut kami berteriak minta diisi dan sesampainya di The Peak Galleria, saya menangkap signage Mak’s Noodles (dalam huruf latin). Mak’s Noodles menyajikan noodles soup dan tossed noodles dengan wonton, dumpling, beef brisket dan lain-lain. Mak’s Noodle sangat terkenal karena pernah 3 kali mendapatkan rekomendasi dari Michelin Stars. Rekomendasi saya adalah wonton dan beef brisket noodles in soup dengan harga HKD 59. Menu makanan di Mak’s Noodles mulai dari harga HKD 42 sedangkan untuk minuman tersedia teh hangat (tanpa susu) gratis dan free flow.

Ini dia incarannya
Wonton and beef brisket in noodles soup seharga HKD 59
Tips:
Pastinya akan terlihat antrian untuk makan di restaurant ini. Tidak usah kuatir karena antrian biasanya tidak terlalu lama, apalagi mereka memberlakukan sharing table bagi pengunjungnya.

Dengan perut kenyang, kami melanjutkan sight seeing kami ke Madame Tussaud Museum. Cukup menghibur dengan banyaknya patung lilin dengan ukuran yang riil dari beberapa artis, tokoh politik dan karakter terkenal. Serunya patung-patung ini bebas diajak berfoto ria dan "boleh" dipegang.
Wefie ama Babe
Doraemon!
Sejenak menghabiskan waktu melihat-lihat di The Peak Galleria, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk turun dan kembali ke kota. Hal ini sebenarnya juga dipicu oleh trauma harus antri 1.5 jam lebih. Sedangkan antrian tram untuk turun sudah mulai nampak meski belum panjang.

Setiba kembali di kota, kami memutuskan untuk menjajal kuliner lain yang sampai saat ini masih memperoleh Michelin Star, yaitu Yat Lok yang terkenal dengan Roasted Goose-nya. Yah, di Hong Kong jarang saya lihat menu bebek, yang banyak adalah goose atau angsa/soang (bukan angsa swan yang berleher panjang). Pada saat sudah matang yang membedakan bisa dilihat dari kepalanya. Semacam ada punuk kecil di antara kepala dan paruh dari goose/soang.

Dan tutup!

“New years holiday, tomorrow open” seru bapak-bapak di toko sebelah kepada kami.

Dengan sedikit kecewa, kami berjalan gontai kembali ke MTR.

“Buset yah, padahal sudah seminggu setelah imlek ini” gerutu saya kepada teman seperjalanan.

Tips:
Untuk mencapai Yat Lok, gunakan MTR (Island Line), turun di MTR Central dan lanjut berjalan ke exit D2. Begitu keluar ambil arah kanan, setelah store Zara, belok ke kiri, naik tangga, kembali berjalan lurus hingga pertigaan dan ambil arah kiri, Yat Lok akan berada di sebelah kanan.

Dari sana kami menuju Temple Street Night Market. Sangat similar dengan Ladies Market tetapi lebih kecil dan ragam barangnya lebih sedikit.
Main gate of Temple Street
Tips:
Untuk mencapai Temple Street Night Market, gunakan MTR (Tsuen Wan Line), turun di MTR Jordan dan berjalan sedikit untuk mencapai market ini. Harga lebih mahal dari Ladies Market untuk barang yang sama.

Dari Temple Street Night Market, kami kembali ke TST dan mencari local restaurant untuk makan malam. PIlihan kami adalah restaurant yang menyajikan macam-macam barbeque termasuk roasted goose. Seporsi BBQ dan noodles soup/nasi dikisaran harga HKD 70.
Meal Package seharga HKD 70 (exclude roasted goose)
Lepas dari makan malam, karena the night still so young, maka kami memutuskan untuk hang out di café setempat yang menjual beer. Beer in winter? Why not?
Pilihan kami adalah Malty yang terletak tak jauh dari hotel, pinggir jalan dan tampak relative lebih tenang dibanding di beberapa café lainnya. Kebetulan kami tiba sekitar pukul 8.30 malam dan ternyata masih happy hour dan harga pun jadi lebih murah. Segelas Asahi (ukuran gelas 500ml) dihargai HKD 56.

Tips:
Di Malty kekurangannya adalah kacang yang dihidangkan di meja ternyata bayar HKD 36 tetapi bisa refill. Happy hour di Malty hingga pukul 9.00 malam.

Dan 2 gelas beer Asahi cukup bagi saya untuk menutup penjelajahan di Hong Kong. Esok hari saya dan 2 teman seperjalanan akan menjelajah ke Macau dan keesokan harinya lagi, saya akan kembali ke tanah air.

***
Masih teriang di benak saya bahwa muka oriental saya selalu dianggap sebagai orang lokal di Hong Kong. Walhasil saya selalu diajak berbicara dalam bahasa Kanton. Ketika saya menimpali mereka dengan bahasa Inggris, mimik mereka terlihat terheran-heran, seolah berpikir ini anak gaya banget jawabnya pakai bahasa Inggris yang tidak atau sedikit sekali mereka mengerti.

Saat saya kembali berbicara “I can’t speak Cantonese nor Mandarin. I’m not Chinese”, barulah mereka tertawa dan bertimpal “Mixed?” yang tentunya ganti membuat saya tertawa sembari menjawab “No, I’m Indonesian, Yin Ni Ren.”

Tak terpungkiri bahwa kakek dan nenek saya adalah orang Kanton, berasal dari Propinsi Guang Dong (Sang Heng, Ya Yao, Nan Hai – yang dekat dengan Kota Guang Zhou) yang setelah 3 kali bolak balik (Guang Dong – Indonesia), akhirnya kakek memutuskan untuk menetap di Indonesia pada tahun 1930-an dan memulai kehidupan barunya di kota Malang, Jawa Timur.

“Attention please. Pessanger of Cathay Pacific flight number CX … please board ...”

So long Hong Kong. I’m not sure that Hong Kong will be my favorite destination, yet for sure it gaves me memories and a story to tell.
ciao Hong Kong
***

No comments:

Post a Comment